Masih sama pada kisah
sebelumnya, bertengger di pinggiran tebing-tebing yang curam sambil menatap
bentangan cakrawala yang membelah semesta dengan kaki mungil yang masih kuat
menopang tuannya yang mulai lemah tak berdaya. Keringat berjatuhan membasahi
tanah yang tandus akibat terik mentari yang menyerang bumi, desah nafas mulai
tak beraturan bagai orang yang terkena asma. Inginku teriak hingga menembus
langit agar tuhan mendengar apa yang ada di benakku.
Langit nampak kemerahan,
terlihat mentari mulai meninggalkan semesta yang merindukan purnama. Senja
menjingga kini melukis langit yang perlahan-lahan diselimuti kegelapan. Mulut
ini tak dapat berkata apa-apa, sebab kesunyian datang menyapa dan membelaiku
dengan lembut.
Seiring waktu beranjak,
kegelapan mulai nampak di hadapanku, menyambut kehadiranku. Cahaya bebintangan
terpancar menembus tiap lorong-lorong kesunyian malam yang dihuni binatang yang
setiap saat merayu purnama. Sesekali aku mengintip purnama dari balik dedaunan,
menyapanya, menghiburnya hingga ia melontarkan satu senyuman indah yang
membuatku tersipu untuk menatapnya lebih lama.
Malam, jangan biarkan
awan hitam menutupi purnama, jangan izinkan mereka merayu purnama hingga
bersembunyi di balik angkuhnya kemunafikan. Aku ingin membelaimu, aku ingin
menyentuhmu hingga syarafmu tak mampu lagi merasakan tiap sentuhannya, agar kau
tak lagi mampu di hantui oleh bayangan kegelapan yang selalu saja menjadi
tembok bagi kau dan aku.
Diam, diam, dan diam
hanya itu yang dapat aku lakukan saat ini. Walau mereka berkata diam tak ada gunanya!. Namun bagiku diam
adalah sesuatu yang dapat merangsang imajiku untuk melukismu pada
dinding-dinding kesunyian agar mencapai ke-ada-anmu dalam sepiku.
Ada banyak hal yang
membuatku takut ketika kegelapan mulai menyelimuti, utamanya senja tak mampu
lagi menampakkan eksistensinya. Jika dalam diamku dapat menghancurkan segala
ketakutan itu maka kau akan tetap “ada”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar