Minggu, 14 April 2013

Gejolak Jiwa

Sepertinya semua akan terhenti disini, di tempat ini. Setelah sekian lama aku merindu akan sapaan hatimu, berjalan diatas kanvas dedaunan yang telah di makan oleh rayap hingga membuat kita jatuh ke dalam parit tak berujung. Kisah yang ku rindukan kemarin ternyata hanyalah fatamorgana yang sebenarnya tak nyata, walau aku telah membuatmu selalu tersenyum bahagia dan melupakan segala kecamuk dada yang senantiasa menyerangku tanpa ampun. Hingga kini aku masih saja berpikir dan bertanya pada hati yang perih "pantaskah aku meminang senja dengan sehelai tirai semesta? ataukah itu akan selamanya jadi mimpi dan angan-anganku saja?".

Aku hanya bisa melihatmu sambil tersenyum, bagiku itu cukup untuk menghilangkan segala gejolak yang senantiasa menghantui dan meracuniku. Inginku teriak hingga membangunkan ruh para penikmat kisah romantik agar mereka dapat mengguruiku untuk menghilagkan segala penat, namun bagiku semua itu tak berguna ketika purnama terusik oleh auman jiwa yang sedang merintih. Apakah aku orang bodoh yang selalu sabar menantimu? walau kau tak juga sadar akan rasa yang bertuan ini.

Badanku mati rasa akibat kesadaran yang perlahan menepuk dadaku. Danau air mata tak lagi terbendung, luapan airnya membasahi tanah tandus akibat kemarau panjang. Kebingungan yang berkepanjangan membuat bebintangan luput dari pandanganku, pusaran supernova menyodot segala harapan dan kebahagiaanku. Imajiku beku, ia tak mampu lagi menciptakan nilai positif pada tiap sudut otakku.

Malam ini aku menyembunyikan semua rasa yang membuat jiwaku bergejolak. Dengan tawa kegiranan aku menafikan segala kesakitan itu, di tambah sedikit pemanis dari sari-sari kehidupan. Apa engkau tak mengerti, jiwaku meronta akibat tamparan keras dari mereka yang merayu senja kala dingin menusuk pori-pori kulitmu?. Aaahhhh.. Mungkin aku orang yang tak mempunyai batasan rasa sabar hingga hanya diam membisu.

Diksiku tak mampu lagi mengalir menjadi sebuah narasi yang indah. Makna tiap bait tulisanku juga hancur berserakan bagai despot yang berhamburan di angkasa. Cambukan demi cambukan bersarang di dinding semesta, membuat mentari tak lagi melontarkan senyum pada mereka yang merindu kegelapan. Ohh Aku bagai debu jalanan yang tak mempunyai arah dan tujuan, eksistensiku menjelma menjadi tumpukan barang rongsokan yang berada di sudut kamarku. 

Apakah aku harus pergi meninggalkan kisah yang telah kita susun rapih di dalam kertas putih? sebab semua tak lagi berguna. Puisi, kata-kata mutiara kini hanya menjadi pajangan dan setiap makna yang tersirat di dalam sebuah tulisanku tak lagi berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar