Selasa, 29 Januari 2013

Kau dan Kesunyian-Ku

Kini tibalah aku pada puncak kebunginganku, duduk di pojokan gubuk kecilku yang begitu nyaman sambil menatap langit yang kian muram. Tepat pukul 01.00 dini hari, tak henti-hentinya imajiku berlarian hingga pada batas cakrawala sambil meratapi tiap sudut jurang-jurang keheningan, menjajaki lorong-lorong ketidakpastian yang membuat jiwaku makin tersesat pada liang semesta. Tiap detik helah nafasku beruah, berubah mengikuti ritmis kerinduanku padamu

Mau tidak mau senar-senar gitarku menari mengikuti suara sumbang yang keluar dari mulutku. Hingga kini, aku masih menikmati kesunyianku bersama tetesan hujan yang membasahi jiwaku. Kini aku percaya pada Nietzsche jika “kesunyian adalah rumahku”, sebab disitulah ketenangan jiwa dan keliaran imaji aku dapatkan, membuka tiap pintu-pintu semesta yang mencipta bentangan diksi memecah kebuntuan.


Seketika kesunyianku menjelma menjadi amukan jiwa yang tak terkendali saat aku baca pada time limenu “Selalu salah! Ga tau kapan dilihat benar. sabar sabar” dan yang kau kutip dari “@KevinOlii: cuekma juga!”. Ohhh… itu bagaikan cambuk yang merajamku hingga membuatku sadar akan tingkah laku yang kekanak kanakanku. Kini aku bingung, aku tak tau apa yang harus aku lakukan, kesunyian telah membuatku hanyut akan buaiannya yang membuatku lupa akan diriku.

Dalam keadaan yang waras, aku benar-benar membutuhkanmu. Seraya berpikir, bisakah ku lalui hariku tanpamu?? Aku pun sadar jika engkaulah perangsang hasrat terciptanya narasi yang membentang pada langit-langit gubukku. Aku tak pernah membayangkan jika kau telah sirna dari ruang kesunyianku.

2 komentar:

  1. suka...dan sepertinya kita merasakan sesuatu yg sama walau pada subjek berbeda..hahahh

    BalasHapus
  2. makasih kak,, hahahha ngonteks di

    BalasHapus