Kini
tibalah aku pada puncak kebunginganku, duduk di pojokan gubuk kecilku yang
begitu nyaman sambil menatap langit yang kian muram. Tepat pukul 01.00 dini
hari, tak henti-hentinya imajiku berlarian hingga pada batas cakrawala sambil meratapi
tiap sudut jurang-jurang keheningan, menjajaki lorong-lorong ketidakpastian
yang membuat jiwaku makin tersesat pada liang semesta. Tiap detik helah nafasku
beruah, berubah mengikuti ritmis kerinduanku padamu
Mau tidak mau senar-senar gitarku menari mengikuti suara sumbang yang
keluar dari mulutku. Hingga kini, aku masih menikmati kesunyianku bersama tetesan
hujan yang membasahi jiwaku. Kini aku percaya pada Nietzsche jika “kesunyian
adalah rumahku”, sebab disitulah ketenangan jiwa dan keliaran imaji aku dapatkan,
membuka tiap pintu-pintu semesta yang mencipta bentangan diksi memecah
kebuntuan.
Seketika
kesunyianku menjelma menjadi amukan jiwa yang tak terkendali saat aku baca pada
time limenu “Selalu salah! Ga tau kapan dilihat benar. sabar sabar” dan yang
kau kutip dari “@KevinOlii: cuekma juga!”. Ohhh… itu
bagaikan cambuk yang merajamku hingga membuatku sadar akan tingkah laku yang
kekanak kanakanku. Kini aku bingung, aku
tak tau apa yang harus aku lakukan, kesunyian telah membuatku hanyut akan
buaiannya yang membuatku lupa akan diriku.
Dalam
keadaan yang waras, aku benar-benar membutuhkanmu. Seraya berpikir, bisakah ku
lalui hariku tanpamu?? Aku pun sadar jika engkaulah perangsang hasrat
terciptanya narasi yang membentang pada langit-langit gubukku. Aku tak pernah
membayangkan jika kau telah sirna dari ruang kesunyianku.
suka...dan sepertinya kita merasakan sesuatu yg sama walau pada subjek berbeda..hahahh
BalasHapusmakasih kak,, hahahha ngonteks di
BalasHapus