Malam merajut kata menjadi kalimat, tetesan hujan
merangsang tiap jari jemari untuk merajut pada lembaran-lembaran semesta yang
makin hari makin membisu. Gemuruh petir mencambuk imajiku hingga ia makin liar.
Kegelapan menutupi rembulan, menghalangi cahayanya sinariku hingga membuat aku terjebak dalam keheningan. Menelusuri tiap lorong-lorong kegelapan, menerjang setiap kekosongan dan kehampaan berharap mendapat seberkas cahaya yang mampu menerangi malamku. Ingin aku nyalakan api dalam ruang kecil yang penuh dengan kekosongan, namun apa daya kekosongan membuat api menjadi amnesia.
Tepat dipersimpangan tulisanku, aku menemukan beberapa kawan yang sedang bersenda gurau satu sama lain pada sebuah “time line”. Mereka pun mengajakku untuk bergabung dan membuat suasana makin seru. Kini canda tawa menghiasi wajahku, kegirangan demi kegirangan makin nampak pada tiap lekukan wajah mereka. Seketika kami bernostalgia, mengenang sahabat sekaligus saudara kami yang belum lama ini pergi meninggalkan kami. Kecerian pun berubah menjadi kesedihan.
Musdalifah,, dialah sahabat dan saudara kami, yang akrab disapa “muse”. Dia mempunyai karismatik yang mampu membuat kami kagum dan bangga padanya. Ooohh.. betapa kami merindukan keceriaanmu sobat, tiap kali kami tertawa dan senang, pasti kami selalu mengingatmu. Kini hanya bait-bait doa yang mampu kami berikan padamu, semoga kau bahagia di keabadiaanmu.
Setelah bernostalgia sejenak, keceriaan itu kembali menghiasi wajah-wajah para penikmat dunia malam. Kami tak ingin larut dalam kesedihan karena kepergiannya, sebab jika kami bersedih yakinlah dia akan lebih bersedih melihat sahabat-sahabatnya bersedih. Tak lama kemudian satu persatu dari kami menghilang ditelan oleh malam yang begitu angkuh, hingga menyisahkan aku seorang diri. Hujan pun terhenti, namun jemariku masih saja merajut tak kenal waktu. Malam semakin tengelam, mentari siap mengikis malam dengan cahayanya, rembulan kini terhempas pada jurang-jurang semesta.
Kegelapan menutupi rembulan, menghalangi cahayanya sinariku hingga membuat aku terjebak dalam keheningan. Menelusuri tiap lorong-lorong kegelapan, menerjang setiap kekosongan dan kehampaan berharap mendapat seberkas cahaya yang mampu menerangi malamku. Ingin aku nyalakan api dalam ruang kecil yang penuh dengan kekosongan, namun apa daya kekosongan membuat api menjadi amnesia.
Tepat dipersimpangan tulisanku, aku menemukan beberapa kawan yang sedang bersenda gurau satu sama lain pada sebuah “time line”. Mereka pun mengajakku untuk bergabung dan membuat suasana makin seru. Kini canda tawa menghiasi wajahku, kegirangan demi kegirangan makin nampak pada tiap lekukan wajah mereka. Seketika kami bernostalgia, mengenang sahabat sekaligus saudara kami yang belum lama ini pergi meninggalkan kami. Kecerian pun berubah menjadi kesedihan.
Musdalifah,, dialah sahabat dan saudara kami, yang akrab disapa “muse”. Dia mempunyai karismatik yang mampu membuat kami kagum dan bangga padanya. Ooohh.. betapa kami merindukan keceriaanmu sobat, tiap kali kami tertawa dan senang, pasti kami selalu mengingatmu. Kini hanya bait-bait doa yang mampu kami berikan padamu, semoga kau bahagia di keabadiaanmu.
Setelah bernostalgia sejenak, keceriaan itu kembali menghiasi wajah-wajah para penikmat dunia malam. Kami tak ingin larut dalam kesedihan karena kepergiannya, sebab jika kami bersedih yakinlah dia akan lebih bersedih melihat sahabat-sahabatnya bersedih. Tak lama kemudian satu persatu dari kami menghilang ditelan oleh malam yang begitu angkuh, hingga menyisahkan aku seorang diri. Hujan pun terhenti, namun jemariku masih saja merajut tak kenal waktu. Malam semakin tengelam, mentari siap mengikis malam dengan cahayanya, rembulan kini terhempas pada jurang-jurang semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar