Kini petaka terjadi, diantara deretan alunan instrumen gitarku dan ditengah
taman bunga yang menjadi tempat berkumpulnya para malikat. Tanpa memikirkan hal
terburuk akan terjadi pada kita, aku melontarkan seberkas kalimat yang
menggetarkan semesta. Jiwaku seakan terpahat dan terbelenggu diantara bongkahan
karang yang tak mampu terkikis oleh kerasnya hantaman ombak, bahkan dinamit
sekalipun.
Mencoba menenangkan diri dengan menyusun tiap diksi-diksi menjadi sebuah
narasi dan menghasilkan plot yang menarik. Namun apa daya, semua itu seakan
tidak memberi efek ketenangan pada jiwa yang sedang merintih. Bahkan air bah
telah membasahi tiap sudut kepiluanku, menjadikan itu sebagai hadiah yang
spesial untukku malam ini. Aku sadar jika semua itu terjadi akibat kebodohan
yang ku lakukan. Kata penyesalan tak lagi berarti, hanya untaian kata maaf yang
mampu aku lontarkan dari mulut yang membisu.
Aku berpikir, aku memang pantas mendapatkan ini semua. Terjebak dalam
bongkahan karang, bersembunyi dibalik kesunyian, bercumbu dengan keheningan
malam, dan bersandar pada kata maaf yang aku lontarkan. Gemuruh angin kini
terdengar merdu, bising kendaraan menjadi alunan paling indah saat ini. Aku tak
ingin bersembunyi dibalik angkuhnya kemunafikan, tak ingin membodohi diri yang
tadinya memang sangat dan sangat bodoh.
Kebingungan demi kebingungan memenjarakan imajiku yang aku harap dapat
mencari jalan keluar dari kebuntuan. Oohh.. aku tak tau lagi harus berbuat apa,
malam semakin larut dan dingin semkin menusuk otot-ototku yang lemah tak
berdaya. Baru kali ini kita dihadapkan dengan sebuah problematika yang
membuatku menjadi autis dan tuna wicara. Apa yang harus aku lakukan?, jika
purnama tak merestui biarlah mentari dikala malam yang menjadi penghulu atas
problematika yang kita hadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar