Entah penyakit apa yang sedang membelitku saat ini, setiap
malam ratioku hanya tertuju pada sosok yang membuat iris mata ini tak mampu
membendung cahaya senja yang menerobos masuk ke dalam lensa mata, membuatku tak
mampu lagi memandang sosok keindahan lain. Aku duduk di atas bangku tua,
memandang langit yang semakin menjauh akibat terjangan ombak kebisuan. Kicauan
burung masih setia menemani kesunyianku dan melantunkan irama indah yang
merangsang gendang telingaku untuk terus mendengarkannya.
Penuh rasa gelisah aku menatap bayangmu yang terpancar
melewati lubang jalanan, inginku merangkulnya namun apa daya hipokinetik datang
menyapaku dari segala arah. Kestakberhinggan
rasa-ku tak mampu lagi berkoar bak tunawicara yang berpidato di hadapan
ribuan pasukan romawi. Di gerbang kecil yang menawarkan masa depan aku
melihatmu tersenyum sambil berjalan mendekati ruang kelas yang menjadi awal
dari segala harapan yang ku gantungkan pada tiap denyut nadimu. Setiap hari aku
selalu menghadirkan tekstur wajahmu pada tiap memori otakku, agar ingatan akan
dirimu tak pernah luput dari pandangan.
Bendungan air mata telah rapuh, entah hari ini, esok, atau
nanti ia akan kembali meluap akibat aliran rasa telah menghentikan seluruh
nadi-ku. Hipotermia menyerang seketika dingin merangkul jiwaku yang sampai saat
ini berusaha memeluk jiwamu dalam bingkai kesetiaan. Dinding semesta masih
kokoh menopang seluruh kegelisahan yang semakin hari semakin mengguncang
kesadaran. Pengerasan Hati (chircosis) aku lakukan agar taka da lagi yang mampu
membuat pandanganku berpaling dari kejinggaan senja.
Asap tembakau menari di hadapanku, seakan mengajakku untuk
bermain agar kesahajaan dalam hidupku kembali menjenguk tiap kesedihan yang
menindih. Ohh.. Aku bagai manusia abnormal yang selalu saja mengharap
kembalinya rasa-mu yang akan menjemput rasaku pada lekuk nadimu. Aku bagai
orang yang terkena asma jika sehari saja tak mendengar kabar dari sudut
bibirmu. Masihkah semua akan terulang? Ataukah kau sudah amnesia?. Biarlah aku
menjadi purnama yang selalu menanti senja di ufuk barat, agar aku dapat
mendampingimu menghias semesta.
Aku ingin di infus sebab cairan tubuhku berkurang akibat
insomnia panjang yang tak kunjung mendapatkan jalan keluar dari segala
pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti. Dapatkah aku menemukan
setitik cahaya yang mampu menerangi jiwaku kala mentari bersembunyi di balik
kegelapan?. Ataukah cahaya itu semakin menjauh akibat malam menolak menjadi
pagi?. Jika itu yang terjadi, maka izinkan aku menyulam cahaya pada tiap
kegelapan yang menerpa diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar