Jumat, 19 April 2013

Kesenjangan Rasa

Entah penyakit apa yang sedang membelitku saat ini, setiap malam ratioku hanya tertuju pada sosok yang membuat iris mata ini tak mampu membendung cahaya senja yang menerobos masuk ke dalam lensa mata, membuatku tak mampu lagi memandang sosok keindahan lain. Aku duduk di atas bangku tua, memandang langit yang semakin menjauh akibat terjangan ombak kebisuan. Kicauan burung masih setia menemani kesunyianku dan melantunkan irama indah yang merangsang gendang telingaku untuk terus mendengarkannya.

Penuh rasa gelisah aku menatap bayangmu yang terpancar melewati lubang jalanan, inginku merangkulnya namun apa daya hipokinetik datang menyapaku dari segala arah. Kestakberhinggan  rasa-ku tak mampu lagi berkoar bak tunawicara yang berpidato di hadapan ribuan pasukan romawi. Di gerbang kecil yang menawarkan masa depan aku melihatmu tersenyum sambil berjalan mendekati ruang kelas yang menjadi awal dari segala harapan yang ku gantungkan pada tiap denyut nadimu. Setiap hari aku selalu menghadirkan tekstur wajahmu pada tiap memori otakku, agar ingatan akan dirimu tak pernah luput dari pandangan.

Bendungan air mata telah rapuh, entah hari ini, esok, atau nanti ia akan kembali meluap akibat aliran rasa telah menghentikan seluruh nadi-ku. Hipotermia menyerang seketika dingin merangkul jiwaku yang sampai saat ini berusaha memeluk jiwamu dalam bingkai kesetiaan. Dinding semesta masih kokoh menopang seluruh kegelisahan yang semakin hari semakin mengguncang kesadaran. Pengerasan Hati (chircosis) aku lakukan agar taka da lagi yang mampu membuat pandanganku berpaling dari kejinggaan senja.

Asap tembakau menari di hadapanku, seakan mengajakku untuk bermain agar kesahajaan dalam hidupku kembali menjenguk tiap kesedihan yang menindih. Ohh.. Aku bagai manusia abnormal yang selalu saja mengharap kembalinya rasa-mu yang akan menjemput rasaku pada lekuk nadimu. Aku bagai orang yang terkena asma jika sehari saja tak mendengar kabar dari sudut bibirmu. Masihkah semua akan terulang? Ataukah kau sudah amnesia?. Biarlah aku menjadi purnama yang selalu menanti senja di ufuk barat, agar aku dapat mendampingimu menghias semesta.

Aku ingin di infus sebab cairan tubuhku berkurang akibat insomnia panjang yang tak kunjung mendapatkan jalan keluar dari segala pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti. Dapatkah aku menemukan setitik cahaya yang mampu menerangi jiwaku kala mentari bersembunyi di balik kegelapan?. Ataukah cahaya itu semakin menjauh akibat malam menolak menjadi pagi?. Jika itu yang terjadi, maka izinkan aku menyulam cahaya pada tiap kegelapan yang menerpa diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar