Sabtu, 01 Juni 2013

Menanti Senja Kala Malam


Tak terasa hari ini hampir berakhir. Aku masih bertengger di bawah kaki cakrawala, menatap purnama yang kian memudar akibat hembusan angin yang membawa awan hitam menutupi cahayanya pun kerlap kerlip bebintangan tak mampu lagi berbagi keindahan kepada setiap makhluk penghuni malam. Sementara ada hati yang sedang rindu akan binar senja yang memancar dari ufuk barat. 

Di kamar ini, aku membaringkan jiwaku, membiarkannya larut dalam kesunyian. Memandang langit luas yang entah kapan ia akan tersenyum kembali. Suara gesekan angin dan dedaunan akibat gelisah, menjadi instrument klasik yang memanjakan telingaku yang sedang tuli. Meresapi tiap tetes belaian embun yang semakin menusuk ke dalam sum-sum tulangku, membuatku kaku tak berdaya. Aku mulai mengurai setiap anggota tubuh yang sedang mengalami keresahan, berharap masing-masing mampu mencari solusi dan jalan keluar dari belengguh yang menjeratku. 

Setapak demi setapak aku lalui. Tanpa terburu-buru, setiap anggota tubuhku melewati titian dengan sangat perlahan, aku takut jika titian tersebut akan hancur dan menenggelamkanku ke dalam parit yang di penuhi suara-suara sumbang tak berakal. Rasa yang memuncah telah mengisi seluruh rongga dada, menghimpun seluruh sel dan serabut saraf yang menghubungkan otak dengan anggota tubuh agar ia tetap seimbang dan teteap pada garis kewajaran. Aku juga ingin jiwamu tetap berada di sampingku agar setiap jalan yang aku lalui akan tetap indah bagai mawar yang mekar.

Perlahan, dengan sedikit tersipu, rembulan mulai mengintip dari celah awan hitam yang menyelimuti malam, satu persatu bebintangan mulai menampakkan keindahannya kepada setiap makhluk yang sedang menyaksikan kemurungan semesta. Aku memandangi setiap sudut kota dari balik jendela yang menyimpan berjuta harapan akan rasa yang sedang merindu sosok seorang hawa. Dalam siluet purnama, aku mencari butiran-butiran rasa yang mampu menyejukkan jiwaku yang sedang kusut.

Ruang rasaku mulai di penuhi oleh barisan prajurit Roma yang tak kunjung membisu. Imajiku yang sedang tertidur pulas pun bangkit dan menjelajahi setiap lorong-lorong kota, pemukiman, bahkan tempat ibadah sekalipun, demi mendapat titik klimaks dari ketakberhinggaan rasa yang semakin tak terjamah.


Oohh.. aku menanti kehadiranmu wahai senja di kala malam. Aku ingin seberkas cahayamu merangkul setiap lekuk tubuhku yang sedang amnesia akibat jeratan malam yang membelengguh kejiwaanku. Senja yang selalu membuatku terlena akan estetiknya yang membentang membelah semesta pula rindu yang setiap saat memuncah bak deretan narasi yang memnuhi dinding cakrawala. 

Aku benar-benar berada pada garis ketakwajaran. Tubuhku serasa mati suri jika senja tak kunjung nampak dan merangsang tubuhku agar tetap bergerak menuju keabadian rasa. Ataukah aku menjadi mayat hidup yang tidak memiliki asa pula rasa untuk mencinta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar