Tak
terasa hari ini hampir berakhir. Aku masih bertengger di bawah kaki cakrawala,
menatap purnama yang kian memudar akibat hembusan angin yang membawa awan hitam
menutupi cahayanya pun kerlap kerlip bebintangan tak mampu lagi berbagi
keindahan kepada setiap makhluk penghuni malam. Sementara ada hati yang sedang
rindu akan binar senja yang memancar dari ufuk barat.
Di kamar ini, aku membaringkan jiwaku,
membiarkannya larut dalam kesunyian. Memandang langit luas yang entah kapan ia
akan tersenyum kembali. Suara gesekan angin dan dedaunan akibat gelisah,
menjadi instrument klasik yang memanjakan telingaku yang sedang tuli. Meresapi
tiap tetes belaian embun yang semakin menusuk ke dalam sum-sum tulangku,
membuatku kaku tak berdaya. Aku mulai mengurai setiap anggota tubuh yang sedang
mengalami keresahan, berharap masing-masing mampu mencari solusi dan jalan
keluar dari belengguh yang menjeratku.
Setapak
demi setapak aku lalui. Tanpa terburu-buru, setiap anggota tubuhku melewati
titian dengan sangat perlahan, aku takut jika titian tersebut akan hancur dan
menenggelamkanku ke dalam parit yang di penuhi suara-suara sumbang tak berakal.
Rasa yang memuncah telah mengisi seluruh rongga dada, menghimpun seluruh sel
dan serabut saraf yang menghubungkan otak dengan anggota tubuh agar ia tetap
seimbang dan teteap pada garis kewajaran. Aku juga ingin jiwamu tetap berada di
sampingku agar setiap jalan yang aku lalui akan tetap indah bagai mawar yang
mekar.
Perlahan,
dengan sedikit tersipu, rembulan mulai mengintip dari celah awan hitam yang
menyelimuti malam, satu persatu bebintangan mulai menampakkan keindahannya
kepada setiap makhluk yang sedang menyaksikan kemurungan semesta. Aku memandangi
setiap sudut kota dari balik jendela yang menyimpan berjuta harapan akan rasa
yang sedang merindu sosok seorang hawa. Dalam siluet purnama, aku mencari
butiran-butiran rasa yang mampu menyejukkan jiwaku yang sedang kusut.
Ruang
rasaku mulai di penuhi oleh barisan prajurit Roma yang tak kunjung membisu.
Imajiku yang sedang tertidur pulas pun bangkit dan menjelajahi setiap
lorong-lorong kota, pemukiman, bahkan tempat ibadah sekalipun, demi mendapat
titik klimaks dari ketakberhinggaan rasa yang semakin tak terjamah.
Oohh.. aku menanti kehadiranmu wahai senja di kala malam. Aku ingin seberkas cahayamu merangkul setiap lekuk tubuhku yang sedang amnesia akibat jeratan malam yang membelengguh kejiwaanku. Senja yang selalu membuatku terlena akan estetiknya yang membentang membelah semesta pula rindu yang setiap saat memuncah bak deretan narasi yang memnuhi dinding cakrawala.
Aku benar-benar berada pada garis ketakwajaran. Tubuhku serasa mati suri jika senja tak kunjung nampak dan merangsang tubuhku agar tetap bergerak menuju keabadian rasa. Ataukah aku menjadi mayat hidup yang tidak memiliki asa pula rasa untuk mencinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar